Sore itu, di balik dinding istana yang megah, Ibu Kartika sedang berdiri di depan cermin berukuran raksasa. Gaun sutra berwarna zamrud yang ia kenakan berkilauan diterpa cahaya. Di sekelilingnya, Dayang-dayang berlarian kecil, menata perhiasan dan memastikan setiap helai rambutnya jatuh sempurna.
“Apakah sudah sempurna?” tanya Ibu Kartika, suaranya terdengar dingin dan penuh tuntutan.
“Sangat sempurna, Ibu Ratu,” jawab Dayang Indah, sambil membungkuk dalam. “Gaun ini sangat cocok dengan mata Ibu yang indah.”
Ibu Kartika tersenyum tipis, tapi matanya tak menunjukkan kehangatan. “Indah, ya? Tentu saja. Tak ada yang pantas mengenakan gaun ini selain aku.” Ia memutar tubuhnya, memandang para Dayang yang lain. “Kalian sudah siapkan semuanya? Perjalanan ke negeri seberang harus megah. Aku tidak mau ada satu pun yang kurang.”
Dayang-dayang lain mengangguk serempak. Mereka tampak sibuk, namun di balik kepatuhan itu, tersirat rasa nyaman. Perjalanan mewah ini juga berarti hadiah-hadiah mahal dan jamuan mewah bagi mereka.
“Saya sudah pastikan perhiasan dan permata terbaik sudah dimasukkan ke dalam peti-peti khusus, Ibu Ratu,” lapor Dayang Sari, sambil merapikan kalung mutiara di leher Ibu Kartika. “Semua sudah sesuai dengan daftar belanja yang Ibu berikan.”
“Bagus.” Ibu Kartika mengangguk puas. “Dan bagaimana dengan para rakyat jelata itu? Sudahkah kalian berikan sedikit ‘hadiah’?”
Dayang Laras maju dengan senyum cerah. “Sudah, Ibu Ratu. Kami sudah membagikan makanan dan minuman. Mereka semua sangat gembira. Mereka bahkan bersorak-sorak memuji kebaikan hati Ibu Ratu.”
“Tentu saja mereka gembira,” sahut Ibu Kartika, tawa kecilnya terdengar sinis. “Mereka hanya butuh sedikit hiburan agar tidak mengganggu. Dengan begitu, kita bisa pergi tanpa merasa bersalah, bukan?”
Para Dayang mengangguk, menyetujui ucapan Ibu Kartika tanpa rasa ragu. Mereka tahu permainan ini. Mereka juga tahu bahwa selama mereka patuh, kenyamanan mereka akan terjamin. Dayang-dayang ini bukan hanya pelayan, mereka adalah kaki tangan yang melindungi ego dan keserakahan Ibu Kartika.
Ibu Kartika melangkah ke arah jendela besar, memandang ke luar. Rakyat terlihat berkerumun di gerbang istana, menanti kedatangannya. Mereka melambaikan tangan, wajah mereka memancarkan harapan palsu.
“Lihatlah mereka,” kata Ibu Kartika, suaranya terdengar merendahkan. “Begitu mudahnya mereka tertipu. Cukup dengan sedikit remah-remah, mereka sudah menganggapku sebagai pahlawan.”
Dayang-dayang saling berpandangan, lalu menunduk. Mereka tidak berani menyanggah, karena ucapan Ibu Kartika adalah kebenaran yang tak terucap bagi mereka. Mereka adalah bayangan Ibu Kartika, menikmati kemewahan dari sisa-sisa keserakahannya.
Ibu Kartika tersenyum lebar. “Ayo kita pergi,” katanya, melangkah keluar ruangan. “Para Dayang, pastikan kalian tunjukkan wajah paling ramah kalian. Kita harus membuat rakyat percaya bahwa kita pergi untuk kemakmuran mereka, padahal sebenarnya kita hanya pergi untuk diri kita sendiri. Lagipula, mereka tidak akan pernah tahu, bukan?”
Di balik senyum manisnya, tersembunyi nafsu serigala yang siap menghamburkan harta kekayaan milik rakyat. Dan di belakangnya, para Dayang mengikutinya, dengan senyum ramah yang sama palsunya, menikmati setiap langkah menuju kemewahan yang mereka dapatkan dari kepatuhan mereka pada sang serigala berbulu domba.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya semoga menginspirasi jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar dan dapatkan informasi terbaru di setiap postingan. Jangan lupa follow akun Instagram @efrideplin dan Twitter @efrideplin Tiktok @EfriDeplin juga YouTube Efri Deplin dan MrDeplinChannel. Terima kasih semoga menginspirasi.